Kamis, 25 Oktober 2012

Wanita dalam Olahraga



PEMBAHASAN


2.1. Perbedaan Fisik Pria dan Wanita

Terdapat perbedaan jelas dalam aspek anatomi antara wanita dan pria, tetapi kurang jelas dalam aspek fisiologi. Perbedaan anatomi ini menyebab-kan pria lebih mampu melakukan kegiatan jasmani dan olahraga yang memerlukan kekuatan dan dimensi lain yang lebih besar. Tetapi banyak dari perbedaan ini dapat diubah oleh latihan jasmani sehingga parameter fisiologik wanita yang terlatih dapat melampaui parameter pria yang kurang terlatih. Bagian besar dari perbedaan antar jenis kelamin ini tidak relevan dalam olahraga, oleh karena dalam olahraga wanita (biasanya) bertanding di antara sesama wanita.
Pada orang dewasa, dimensi fisik pria rata-rata 7-10% lebih besar dari pada wanita. Perbedaan ukuran itu pada anak-anak sangat sedikit sampai usia pubertas, di kala itu untuk sementara anak-anak perempuan bahkan lebih tinggi dan lebih besar dari pada anak-anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh karena awal pubertas yang lebih dini pada anak perempuan (9-13 tahun) dari pada anak laki-laki (10-14 tahun) dengan waktu yang lebih panjang pula. Di bawah pengaruh hormon pria testosteron, laki-laki tumbuh lebih tinggi, dengan gelang bahu yang lebih luas, panggul yang lebih sempit dan tungkai yang lebih panjang. Wanita, melalui pengaruh hormon oestrogen berkembang dengan bahu yang lebih sempit, panggul yang lebih luas relatif terhadap tinggi badannya dan „carrying angle‟ yang lebih besar pada sendi siku, yang mengakibatkan kerugian mekanik bagi lari dan melempar.
Oestrogen pada wanita juga berperan dalam penimbunan lemak pada tempat-tempat tertentu selama masa pubertas, sedangkan testosteron merangsang perkembangan otot pada pria. Bila dinyatakan dalam prosenta-se dari berat badannya, wanita dewasa memiliki lemak sekitar dua kali lebih banyak dari pada pria.
Walaupun laki-laki mendapatkan massa otot yang lebih besar dan oleh karena itu juga power total yang lebih besar, tetapi kekuatan otot bila dinyatakan dalam satuan luas penampang melintang otot adalah sama untuk kedua jenis kelamin. Wanita lebih flexibel dari pada pria dan hal ini disebabkan oleh karena tingkat basal hormon relaxin yang lebih tinggi. Hormon ini selama kehamilan disekresikan dalam kadar tinggi, sehingga wanita hamil memang menjadi lebih tinggi flexibilitasnya, dan hal ini memang diperlukan untuk memudahkan proses persalinannya.
Pria mempunyai darah yang kurang-lebih satu liter lebih banyak dari pada wanita, dengan kadar hemoglobin yang lebih tinggi pula (15.8 g.L-1 + 0.9 lawan 13.9 g.L-1 + 1.1). Dimensi jantung pada pria adalah lebih besar sehingga volume sedenyutnya juga lebih besar, volume paru kurang-lebih 10% lebih besar dari pada wanita. Wanita mempunyai nadi istirahat yang sedikit lebih tinggi, meski denyut jantung maximal sesuai umur sama untuk kedua jenis kelamin.


2.2. Kapasitas Latihan Pada Wanita dan Gangguan Menstruasi
Banyak penelitian-penelitian terhadap kapasitas fisik wanita dilakukan pada subjek yang kurang terlatih, sehingga menunjukkan kapasitas kerja yang relatif buruk, dan ini dimasa lalu menjadi pembatas bagi wanita untuk berpartisipasi dalam olahraga. Tetapi wanita sungguh dapat dilatih dan perbedaan parameter fisiologik antara wanita dan pria yang terlatih menjadi lebih kecil dari pada orang kebanyakan. Fakta pada orang kebanyakan inilah yang dijadikan petanda rendahnya tingkat keterlatihan pada „kebanyak-an„ wanita.
Latihan kekuatan yang terpimpin dan sistematis merupakan kegiatan yang menyehatkan dan menggembirakan anak-anak wanita, karena di balik latihan itu tersimpan potensi untuk meningkatkan densitas tulang sehingga merupakan pencegahan osteoporosis di kemudian hari. Di samping itu dengan latihan kekuatan yang sistematik, wanita dapat meningkatkan diameter serabut otot dan massa total ototnya, tetapi tidak dapat menyamai apa yang dicapai pria oleh karena kadar testosteronnya yang relatif lebih rendah. Pada awalnya peningkatan kekuatan otot dapat terjadi tanpa meningkatnya ukuran otot, dan hal ini disebabkan oleh karena membaiknya pengerahan satuan neuromuskular sebagai hasil pelatihan.
Kandungan lemak yang pada umumnya lebih tinggi pada wanita tidak menghasilkan perbaikan olahdaya (metabolisme) lemak pada event olahraga daya-tahan misalnya maraton, sebagai-mana yang dahulu diyakini. Lemak tubuh yang tinggi pada wanita menjadi hambatan bagi kegiatan fisik yang bersifat weight bearing (mengusung beban/ berat badan), tetapi hal itu meningkatkan daya apung pada renang, dan menjadi faktor keunggulan penampilan perenang-perenang “jarak ultra jauh” wanita (Sharp 1984).
Kandungan lemak tubuh dengan latihan kekuatan akan menurun yang berarti membaiknya rasio BB tanpa lemak terhadap BB dengan lemak yang merupakan respons terhadap latihan. Banyak atlet daya-tahan wanita mempunyai kandungan lemak yang nyata lebih sedikit dari pada atlet power pria. Untuk wanita, hasil yang diharapkan dengan latihan kekuatan adalah menghasilkan tubuh yang lebih ramping dan lebih sehat yang akan membuatnya menjadi lebih tahan terhadap cedera olahraga.

Gangguan menstruasi

Sekitar 20 tahun yang lalu menstruasi selalu menjadi kendala bagi kaum wanita indonesia untuk aktif berolahraga, terutama dilingkungan pendidikan jasmani. Keadaan tersebut sampai sekarang masih mempengaruhi sebagian peserta didik, terutaama bagi peserta didik yang pengetahuan olahraga dan kesehatannya minim.
Bagi kaum wanita yang sudah aktif berolahraga, pengetahuan tentang olahraga dan kesehatan relatif baik, menstruasi sudah bukan lagi menjadi kendala, malah sebaliknya. Kegiatan olahraga bagi kaum wanita pada zaman sekarang justru merupakan salah satu kegiatan yang sangat bermanfaat saat mereka menderita akibat haid, karena berbagai gangguan; perasaan tidak enak, sakit, rasa tidak enak pada payudara dan kecemasan jadi berkurang.
Hasil kuisioner pada banyak atlet wanita sejak puluhan tahun yang lalu menurut Phul dan Brown yang disajikan oleh Saantosa Girirwijoyo dan kawan-kawan (2007) menunjukkan bahwa mereka mampu tampil sama baiknya ketika akan dan sedang menstruasi.
Suatu kenyataan bahwa dikalangan atlet wanita sering terjadi gangguan siklus menstruasi, gangguan termaksud ada yang jumlah menstruasinya pertahun berkurang atau sama sekali tidak ada menstruasi. Kemudian para atlet wanita juga sering terjadi siklus menstruasi, tetapi untuk mengetahuinya secara pasti sangat sulit, karena ada banyak variabel yang mempengaruhinya. Di antara sekian banyak variabel termaksud yang sudah disepakati baru dalam tataran difinisi istilah berikut.
  • Eumenorrhoea yaitu siklus menstruasi yang terjadi dengan interval perdarahan yang terjadi antara 21-35 hari.
  • Oligomenorrhoea yaitu menstruasi yang terjadi dengan interval antara 35-90 hari
  • Amenorrhoea adalah tidak terjadi menstruasi dalam waktu 3 bulan berturut-turut. Hasil beberapa ahli menunjukkan bahwa atlet yang berusia di bawah 25 tahun lebih besar kemungkinannya mengalami amenorrhoea. Kemudian hasil penelitian para ahli juga menunjukkan bahwa, faktor-faktor yang secara umum ditemukan pada kelompok atlet yang mengalami perubahan menstruasi akibat aktivitas olahraga oleh Santosa Giriwijoyo dan kawan-kawan (2007) dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Faktor-faktor yang berhubungan siklus menstruasi
Menstruasi yang tertunda
Menstruasi yang tidak teratur
Kematangan proses reproduksi
Usia dewasa
Ibu-ibu
Peningkatan BB
Peningkatan lemak tubuh
Peningkatan aktivitas bertahap
Latihan dengan intensitas rendah
Usia muda
Penurunan BB
Penurunan lemak tubuh
Tata gizi rendah kalori
Latihan dengan volume & intensitas tinggi
Beban kerja meningkat cepat
Stress psikologi

2.3. Wanita dalam Olahraga

Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden , roro) yang secara otomatis dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Dari konsep ini stratifikasi sosial akan terjadi. Semua wanita memiliki kesempatan sama untuk memperoleh status tertentu di masyarakat, tetapi karena kemampuan dan pengalaman berbeda berdampak pada lahirnya tingkatan-tingkatan status yang akan diperoleh wanita dalam partisipasinya di olahraga. Bagaimanapun juga setiap wanita berolahraga menginginkan prestise dan derajat sosial dalam kehidupan di masyarakatnya. Bukan sebagai pengakuan atas keberadaannya oleh anggota kelompok, melainkan sebgai salah satu tuntutan kebutuhan untuk harga diri dan atau self-esteem (Teori kebutuhan menurut Maslow). Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki dua bentuk yaitu:
a. Contest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan pribadi),
b. Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan).
Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun lebih besar.
Terlepas dari itu, status wanita berolahraga memang masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern, wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta).

2.4. Peranan Wanita dalam Olahraga

Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu :
1.      Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
2.      Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai
organisasi.
3.      Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah berbuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Tidak jarang terjadi bahwa kedudukan lebih diutamakan sehingga terjadi hubungan-hubungan timpang yang tidak seharusnya terjadi. Contoh dalam dunia olahraga, peranan manajer yang melebihi kekuasaan pelatih dalam menentukan siapa atlet yang harus bertanding, peranan atlet profesional yang tidak mencerminkan jati dirinya sebagai olahragawan yang menjunjung sportivitas (fair play). Sehingga lebih cenderung mementingkan bahwa suatu pihak hanya mempunyai hak saja, sedang pihak lainnya hanyalah mempunyai kewajiban belaka.
Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga.
Permainan hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. Ketimpangan-ketimpangan yang lebih luas terjadi pada masyarakat partisipan aktivitas tertentu, termasuk aktivitas olahraga, akibat ketidaksesuaian harapan (dalam konteks olahraga Indonesia rasanya lebih tepat dikatakan tuntutan) dengan peranan terhadap peranan yang tepat dalam menduduki suatu status (Davis, 1948) terjadi karena :
1.      Harapan masyarakat kurang memperhatikan tindakan sebenarnya atau sebaliknya,
2.      Apabila harapan masyarakat akan tindakannya diketahui, akan tetapi waktu dan situasi
tidak memungkinkan bagi individu yang bersangkutan,
3.      Apabila pemenuhan harapan masyarakat di luar kemampuan individu.
Masyarakat olahraga Indonesia masih kuat dengan konsep kalah menang, bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah pecundang tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi pecundang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan kesempatan. Menururt Coakley (1990) dari beberapa kasus bahwa wanita masih memiliki sedikit kesempatan dibandingkan pria, terutama di kota-kota kecil dan wilayah pedesaan. Yang lebih sering terjadi adalah kekurangan, diantaranya dalam hal :
1.      Persediaan dan pemeliharaan peralatan dan penyebarannya,
2.      Penjadwalan pertandingan dan waktu latihan,
3.      Kesempatan memperoleh pelatihan dan tutor akademik,
4.      Penugasan dan kompensasi pelatih dan tutor
5.      Ketersediaan obat-obatan dan pelayanan latihan serta fasilitas
6.      Publisitas bagi secara individu, team, dan event.

Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam hal kesempatan wanita berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status dan achieved status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan lawan jenisnya. Dengan pertimbangan perspektif sosiologis sebagai acuan dalam membicarakan kedudukan dan peran atlet di masyarakat seperti yang dikemukakan Dr. Vassiliki Avgerinou dari Swiss dalam makalahnya Kedudukan dan Peran Atlet di Masyarakat , yaitu :
1.      Keberadaan atlet di masyarakat serta pribadi atlet sebagai individu dipandang sebagai
bagiandari pola-pola sosial; dan perasaan-perasaan mereka didasari oleh peraturan-
peraturan yang berlaku.

2.      Individu yang hidup dalam suatu pranata sosial dan lingkungan masyarakat akan
terlibat kegiatan dan tindakan di dalam kehidupan sehari-harinya.
3.      Sebagai individu yang rasional, seseorang mampu mengevaluasi tindakannya secara
intelektual.
Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria. Coakley (1990) mengungkapkan pula bahwa masih adanya mitos yang keliru dan masih dipegang oleh masyarakat, terutama terjadi pada negara-negara yang tingkat pendidikan dan informasi medik masih rendah :
1.      Keikutsertaan yang berat dalam olahraga mungkin menjadi penyebab utama masalah
kemampuan menghasilkan keturunan.
2.      Aktivitas pada beberapa event olahraga dapat merusak organ reproduksi atau payudara
wanita.
3.      Wanita memiliki struktur tulang yang lebih rapuh dibandingkan pria sehingga lebih
mudah mengalami cedera.
4.      Keterlibatan intens dalam olahraga menyebabkan masalah pada menstruasi.
5.      Keterlibatan dalam olahraga membawa ke arah perkembangan yang kurang menarik,
menonjolkan otot.

Alasan-alasan inilah yang memperburuk persepsi masyarakat terhadap keterlibatan wanita dalam olahraga yang secara langsung berpengaruh pada pemberian status dan peranan sosial wanita dalam kehidupannya secara khusus di bidang olahraga dan umumnya di kehidupan keseharian di masyarakat di mana pola-pola interaksi sosial berlaku di lingkungannya. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45).

2.5. Perbedaan Gender dalam Olahraga

Diskriminasi terhadap wanita dalam olahraga baru didokumentasikan dan dianggap sebagai masalah pada tahun 1970-an. Di mana tim olahraga wanita menerima dana yang lebih rendah dari tim pria. Tahun 1974 budget program olahraga pria lima kali lipat budget untuk wanita. Bahkan pada tingkat Universitas perbedaannya sampai 100 kali lipat (Women Sport, 1974). Diskriminasi terlihat dalam hal fasilitas dan peralatan. Wanita menggunakan gedung olahraga yang usang di mana pria dibuatkan gedung yang baru. Wanita memakai peralatan bekas tim pria, jika tidak ada yang bekas terkadang tim wanita tidak mempunyai apa-apa. Dalam menggunakan fasilitas yang sama, wanita mendapatkan giliran jadual yang tidak fair.
Wanita tidak mendapatkan perhatian yang cukup mengenai latihan seperti halnya pria. Sering kali untuk menuju ke pertandingannya, tim wanita harus menggunakan bis padahal tim pria mendapatkan pelayanan pesawat. Liputan media untuk berita tentang olahlraga wanita juga kurang, padahal olahraga pria selalu mendapatkan perhatian media surat kabar, radio bahkan televisi. Sampai adanya persamaan pada setiap bidang di atas, maka wanita tidak bisa dikatakan mendapatkan peluang yang sama dengan pria dalam program sekolah.
Pada tingkat masyarakat, meski partisipasi olahraga wanita telah meningkat, diskriminasi masih kentara. Misalnya pada penggunaan fasilitas, program yang tersedia dan pengurus yang ditugaskan untuk kegiatan olahraga wanita. Hal ini juga terjadi untuk tingkat olahraga amatir nasional.



1)      Mempertahankan Perbedaan Mitos
a.      Mitos Fisiologi
Adanya kepercayaan bahwa partisipasi olahraga menyebabkan efek fisik yang berbahaya bagi wanita. Mitos ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
  • Partisipasi yang keras dalam olahraga dapat mengganggu kemampuan untuk melahirkan, Hal ini disebabkan bahwa latihan fisik akan memperkeras otot pelvis, sehingga tidak akan cukup fieksibel untuk melahirkan secara normal.
  • Aktivitas pada beberapa cabang olahraga dapat merusak organ reproduksi dan payudara wanita. Mitos ini tetap ada meskipun uterus adalah organ internal yang sangat anti getaran dan lebih terlindung dibanding organ vital pria.
  • Struktur tulang wanita lebih lemah, sehingga akan memudahkan terjadinya cedera. Meski ukuran tubuh wanita umumnya lebih kecil dari pada pria, namun tulang mereka tidak lebih lemah. Bahkan, karena berat badan dan berat otot wanita lebih ringan, maka tulang mereka menghadapi bahaya yang lebih sedikit dibanding pria.
  • Keterlibatan yang aktif membuat masalah pada menstruasi. Menurut para ginekolog, "aktivitas olahraga tidak mempengaruhi menstruasi." (Wyrick, 1974). Memang bagi atlet dalam periode latihan yang keras, sering mengalami keterlambatan menstruasi. Namun hal ini disebabkan oleh kurangnya persentasi lemak tubuh, Jadi masalah ini akan hilang jika latihan ketat ini berakhir. Penari balet professional sering mengalami perubahan siklus menstruasi, namun hal ini juga berakhir jika latihan ketat mereka dihentikan.
  • Keterlibatan dalam olahraga mengakibatkan timbulnya otot yang menonjol dan tidak menarik. Padahal suatu tubuh yang dikondisikan dengan baik akan menjadi menarik. Kondisi fisik yang baik ini juga akan meningkatkan image tubuh dan meningkatnya sifat responsif fisik. Otot yang menonjol dihasilkan oleh hormon androgen yang lebih banyak terdapat pada kaum pada. Namun hal ini bervariasi antar individu.
Kelima mitos tersebut, jelas sangat tidak beralasan bagi wanita untuk tidak berpartisipasi dalam olahraga, sehingga upaya untuk menghindari orang yang masih menganut mitos tersebut di atas, adalah melalui pendidikan. Jadi pendidikan adalah penting untuk menghilangkan mitos yang tidak berdasarkan ilmu pengetahuan ini.



b.      Mitos Performansi

Pola diskriminasi juga terlihat dengan argumentasi bahwa wanita tidak bisa tampil lebih baik dari pria. Hal ini sangat menghambat karena akan membatasi peluang, sehingga membatasi wanita untuk membangun kemampuannya. Sebelum masa puber, perbedaan performansi antara anak laki-laki dan perempuan disebabkan oleh pengalaman bukan oleh faktor fisik ataupun potensi performansinya. Bahkan wanita rnempunyai keuntungan yang lebih baik karena mereka lebih cepat dewasa. Setelah masa puber, keuntungan ada di pihak pria karena hormon dan perbedaan pertumbuhan yang menyebabkan rata-rata pria lebih besar dan lebih kuat dari rata-rata wanita. Hal ini bisa digunakan sebagai dasar untuk membagi-bagi olahraga, namun bukan alasan untuk menutup peluang bagi wanita.
Jika pengalaman dan peluang bagi wanita dan pria sama, maka perbedaan ini akan hilang secara bertahap. Pada beberapa cabang olahraga perbedaan ini mungkin akan tetap ada, namun pada cabang-cabang lainnya perbedaan ini malah bisa terjadi sebaliknya. Misalnya pelari marathon wanita, Grete Waitz dari Norwegia mencatat waktu 2 jam 25 menit 41 detik pada New York City Marathon, waktu yang lebih baik dari pemenang pria saat itu. Pada cabang olahraga yang membutuhkan daya tahan dan bukan kekuatan, maka wanita akan lebih baik daripada pria. Karena itu tidak masuk akal jika mencegah peluang pria pada cabang ini, dan juga tidak masuk akal untuk mencegah wanita pada cabang lain hanya karena ada kemungkinan bahwa pria akan mengunggulinya.
Mitos performansi diperkuat oleh sejarah pembatasan dan diskriminasi. Mitos ini mulai berkurang, tapi jika individu dan kelompok yang berpengaruh (seperti IOC) masih menganut hal ini, maka diskriminasi akan terus berlanjut.










BAB IV
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dalam dunia olahraga masa kini wanita untuk berkompetisi harus didukung dengan memberikan kesempatan serta pembinaan yang sesuai dalam norma-norma yang telah disepakati bersama. Wantia tidak hanya penonton, sebagai pemandu dalam pertandingan serta penyorak melainkan bisa berkompetisi dalam bidang olahraga. Mitos yang keliru seharusnya sudah dibuang untuk merubah pandangan. Perbedaan persepsi tidak harus semakin menyudutkan status dan peranan wanita dalam olahraga melainkan untuk dapat membawa prestasi dan mewujudkan harapan negara.
Semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan yang khusus berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaat olahraga bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengaruh-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini. Dengan kata lain wanita mampu bersaing dalam bidang olagraga dengan kapasitas-kapasitas yang dimilikinya dengan tujuan meraih prestasi.














Daftar Pustaka


  • Prof. Dr. Rusli Lutan, (2001). Penanggulangan Cidera Olahraga pada Anak Sekolah Dasar, Jakarta : Direktorat Jendral Olahraga Depdiknas
  • Avgerinou, Vassiliki. Kedudukan Dan Peran Atlet Di Masyarakat. Kajian Substansi Makalah dalam Payung Sosiologi Olahraga.
  • Giriwijoyo, Santoso (2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI Bandung.
  • www.google.com (modul wanita & olahraga)



LAY UP BOLA BASKET


Dalam bola basket tentunya kalian tidak asing dengan Lay Up. apa itu lay up ? 
Lay Up adalah sebuah cara yang paling mudah untuk memasukkan bola ke dalam ring.
Seharusnya lay up diberikan pertama kali pada saat pembelajaran sehingga dapat cepat merespon.
Untuk mempelajari lay up sangatlah mudah.
Disini penulis akan mencoba bagaimana tahap-tahap melakukan lay up.
1. Berdiri diluar garis sirkel ( setengah lingkaran)
2. Dribling bola dengan 3 langkah (bisa dimulai dengan kaki kanan atau kiri)
3. Dilanjutkan meloncat dengan salah satu kaki, boleh tumpuan kaki kiri/kanan
4. Melayang diudara
5. Mencoba memasukkan bola dengan bola diarahkan kering (bisa juga di pantulkan pada papan)
6. Mendarat dengan kedua kaki

Untuk lebih jelasnya saksikan vidio berikut ini diii.: 
http://www.youtube.com/watch?v=ieOAzjaIEEM


VIDEO



SALAM OLAHRAGA
JAYA OLAHRAGA KU JAYA OLAHRAGA INDONESIA